Minggu, 29 April 2018

Keberadaan Kita dan "Kewarasan" Bermedia Sosial

Media sosial dalam berbagai bentuknya memainkan peranan yang semakin diperhitungkan dalam wacana publik di Indonesia dewasa ini.

Hampir tak ada perkembangan sosial politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial. Hampir tidak ada isu aktual yang tak digunjingkan melalui ruang media sosial. Semua pihak—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas, aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan media sosial, mempertimbangkannya sebagai saluran komunikasi dan informasi yang cukup menentukan.

Harus diakui, fenomena media sosial berkontribusi positif bagi proses demokratisasi dan deliberasi di Indonesia. Media sosial memungkinkan individu bertindak sebagai subyek yang otonom di ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris terlibat dalam proses pencarian, penyebaran, dan pertukaran informasi. Setiap orang adalah jurnalis, setiap orang adalah sumber.

Media sosial menutupi kelemahan praktik komunikasi di media massa. Dalam statusnya sebagai ruang publik, media massa kenyataannya tak memberikan akses memadai kepada orang kebanyakan untuk terlibat dalam berbagai perdebatan. Pemberitaan media terkondisikan untuk selalu mengutip sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM.

Tanpa banyak disadari, orang kebanyakan hanya jadi penonton dalam diskursus media. Elitisme juga terjadi dalam pemilihan tema berita. Sebagian besar pemirsa televisi kita adalah kelas menengah ke bawah, tetapi dialog-dialog di televisi hampir selalu hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.

Persoalan ini berhasil diatasi media sosial dengan menawarkan platform yang memungkinkan perwujudan egalitarianisme dan kesetaraan. Media sosial memungkinkan setiap orang berpendapat langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan. Siapa pun boleh berbicara tentang apa saja. Siapa pun boleh berdiskusi dan menyanggah pendapat siapa saja. Dari perspektif demokrasi dan deliberasi publik, ini adalah kemajuan yang patut disambut.

Persoalannya, diskusi di ruang publik juga harus dilandasi etika dan kepantasan. Kebebasan berpendapat kita dibatasi hak orang lain untuk diperlakukan secara adil serta hak semua orang atas ruang publik yang steril dari sumpah seranah, sikap permusuhan, dan pergunjingan pribadi. Jika disepakati bahwa media sosial adalah sebentuk ruang publik, tentu prinsip ini juga harus berlaku untuk media sosial tanpa pengecualian.

Keadaban publik
Pada titik inilah kita mendapati problem surplus kebebasan berpendapat dalam arena media sosial. Kebebasan berpendapat itu belum sepenuhnya dilandasi penghormatan terhadap hak-hak orang lain dan nilai-nilai keadaban publik. Dalam berbagai isu, media sosial tampak digunakan sebagai sarana menghujat, mencaci maki, atau merendahkan pihak tertentu. Yang kita temukan di media sosial tidak sekadar kritik yang argumentatif, tetapi juga kritik yang apriori dan kasar. Dengan mudahnya satu pihak menghakimi pihak lain tanpa ada mekanisme klarifikasi dan umpan balik.

Hiperaktualitas dan interaktivitas sebagai keunggulan komparatif media sosial telah mendorong kita untuk melontarkan pernyataan spontan,  otomatis, dan tanpa berpikir panjang. Gairah dan suasana diskusi di media sosial mengondisikan kita berbicara sesegera dan seaktual mungkin, ”jangan sampai didahului orang lain”.

Akibatnya, kita kerap tak sempat menimbang-nimbang kepantasan dan dampak suatu pernyataan. Kita baru menyadari ketika sudah muncul kontroversi, debat kusir, atau penghakiman terhadap suatu pihak.
Meminjam istilah Hannah Arendt, kita kehilangan kemampuan untuk berdialog dengan diri sendiri dan mempertimbangkan kata hati sebelum bertindak dan berucap. Kemampuan yang sangat penting agar kita mampu menenggang nasib dan perasaan orang lain, tak sekadar mengikuti naluri-naluri yang egoistik-anarkis. Kemampuan menenggang nasib dan perasaan orang lain inilah esensi sesungguhnya dari hidup bermasyarakat.

Selain itu, diskusi di media sosial memungkinkan kita menyamarkan identitas diri dan berbicara secara anonim. Persoalannya, sebagaimana dikatakan sosiolog George Simmel, di mana ada anonimitas di situlah muncul potensi iresponsibilitas. Tentu tidak semua anonymous adalah pribadi-pribadi yang tidak bertanggung jawab. Namun, tidak sedikit orang yang menggunakan nama samaran atau akun anonim untuk berbicara seenaknya dan mem-bully orang lain. Menggunakan analogi Simmel, mereka seperti manusia-manusia bertopeng yang dapat bertindak jahat terhadap orang lain tanpa seorang pun tahu siapa jati dirinya, tanpa harus bertanggung jawab.

Sungguh disayangkan jika negativitas media sosial itu justru menutupi potensi-potensi demokratif-deliberatif sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sudah semestinya kita berharap kebiasaan menumpahkan kemarahan atau ketidaksetujuan di media sosial dengan sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering terjadi belakangan ini—hanya gejala sementara. Kita berharap kebiasaan buruk itu hanya gejala residual yang tidak permanen dan tidak mencerminkan perkembangan keadaban kita sebagai bangsa.

Bagaimana kita mampu mengatur diri dalam bersikap dan berperilaku di media sosial pada akhirnya juga menentukan bagaimana kualitas keadaban kita. Dalam konteks ini, ada baiknya para aktivis jejaring sosial melangkah lebih jauh dalam merumuskan semacam kode etik berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial. Hal ini bukan ide baru, tetapi mendesak diwujudkan. Meski tak akan mudah dalam pelaksanaannya, tetap lebih baik jika aktivis jejaring sosial mampu mengatur dirinya sendiri daripada inisiatif itu diambil dan dilaksanakan oleh negara.

Melalui Nilai Konstruktif Cegah Kekerasan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu  sektor penting bagi manusia dan negara. Pendidikan juga menarik untuk didiskusikan. Mengapa pendidikan dianggap begitu penting sehingga banyak orang berlomba-lombah untuk masuk kesebuah institusi pendidikan agar mendapatkan pendidikan terbaik?

Pendidikan dianggap penting karena pendidikan memiliki peran dalam pembentukan masa depan manusia sebagai objek dan subjek pendidikan.

Pendidikan merupakan fondasi bagi persiapan menuju dunia kerja. Pendidikan bukan hanya membentuk masa depan tetapi pendidikan juga menjadi tempat untuk membangun dan mengembangkan karakter sesorang untuk menjadi individu yang lebih dewasa.

Kemampuan untuk berpikir, menganalisis dan memutuskan diasah dalam dunia pendidikan. Pendidikan juga membantu menciptakan gambaran yang jelas mengenai hal-hal di sekitar kita serta mengapus semua kebingungan. Hal- hal di atas menjadi factor, mengapa pendidikan menjadi suatu hal yang penting.

Kekerasan dalam pendidikan itu tidak perlu, ketika sekarang peserta didik membuat kesalahan atau tidak mengikuti aturan sekolah, maka guru harus mengambil keputusan untuk memberikan hukuman, dalam hal ini hukuman kepada mahasiswa harus berasaskan himbauan profetis bukan berupa kekerasan fisik. Akan tetapi ketika peserta didik tidak melaksanakan hukuman yang diberikan oleh gurunya, guru memberikan solusi agar segera mengarahkan peserta didik tersebut ke guru Bimbingan Koseling (BK) yang ada di sekolah.

Pendidikan tidak boleh mencantumkan kekerasan sebagai cara untuk mendidik. Strategi belajar mengajar tidak pernah memasukan kekerasan fisik sebagai sesuatu yang perlu dilakukan, karena kekerasan tidak ada dalam kurikulum. Jadi kekerasan dalam pendidkan itu tidak perlu diadakan. Mengapa demikian? Karena kekerasan hanya dapat menimbulkan persepsi-persepsi yang berbeda dalam kehidupan zaman modern ini.

Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena guru tidak paham akan kekerasan dan dampak negatifnya.

Kekerasan dalam pendidikan terjadi karena kurangnya kasih sayang guru. Guru memerlukan murid sebagai obyek yang memiliki individual differences. Hal lain pula dapat dilihat karena kurangnya kompetensi kepala sekolah dalam membimbing dan mengevaluasi pendidikan di sekolahnya.

Kuriake mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip,2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis seperti pesimisme dan apatisme dalam diri pribadi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri siswa untuk menciptakan ide-ide yang inovatif.

Kepincang psikologi ini dapat dilihat pada anak-anak sekolah saat ini yang cendrung pasif dan takut berbicara di hadapan publik. Adapan tindakan yang cukup menonjol dari penyebab psikoligis ini adalah murid seringkali bolos ketika guru galak dalam proses pembelajaran.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, orangtua harus ikut mengatasi kekerasan di sekolah dalam bentuk hukum fisik. Di mana sekolah bukan gedung pengadilan. Komite sekolah harus bisa mengatasi peserta didik dari praktik kekerasan yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah.

Tindakan tersebut bertujuan agar menghindari persepsi terhadap guru atau menghindari asumsi dari peserta didik dalam menilai guru sebagai seorang yang galak, guru yang kasar, serta guru yang tidak menghormati orang lain.

Solusi untuk menghindari kekerasan dalam pendidikan bisa secara preventif dengan berbagai metode dalam mengarahkan semua pihak menuju hal yang positif. Acuan solusi guru bukan seorang predator dapat diminimalisasikan serta meredusir segala asumsi yang negative.

Beberapa metode solutif yang ditawarkan penulis dalam tulisan ini antara lain; peserta didik harus berani membuat sebuah terobosan baru untuk mendekatkan diri pada siswa dan orang tua melalui temuwicara.

Solusi lain untuk menghindari kekerasan dalam pendidikan, adalah harus mengadakan pertemuan antara guru, orangtua dan murid dalam menerapkan peraturan atau tata tertib sekolah.

Bagi siswa yang melangar peraturan sekolah harus diberi hukuman, tetapi yang bersifat konstruktif, misalnya mengerjakan tugas tambahan, membersih ruangan kelas dan halaman sekolah. Sekolah perlu melakukan program pelaksanaan disiplin yang efektif.

Kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua murid dapat mencegah terjadinya ketimpangan serta perlakuan kekerasan bagi siswa-siswi di sekolah. Sekolah harus mewujudkan program pelaksanaan BP untuk masalah kekerasan di sekolah. Agar pendidikan berjalan tanpa kekerasan, maka perlu dipertimbangkan nilai yang efektif dalam menerapakan metode pembelajaran yang humanis dan pentingnya menginternalisasi nilai-nilai moral dan budaya nasional dalam proses pendidikan.

Dengan demikian, pemahamam yang cukup tentang pendidikan menjadi sepaham bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan.

Sejarah Bersastra dan Keberadaan Puisi Sekarang

Setiap tahun, 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Penetapan hari ini erat kaitannya dengan penyair Tanah Air, Chairil Anwar.

Jika kamu pernah mendengar tentang puisi "Cerita Buat Dien Tamaela", maka nama Chairil Anwar tak asing lagi. Ya, dialah pencipta karya yang melegenda tersebut.

Chairil Anwar sendiri merupakan seorang penyair kebanggaan Indonesia. Dia lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922 dari pasangan Toeloes dan Saleha. Di usianya yang masih 15 tahun, Chairil Anwar sudah bertekad untuk menjadi seorang penyair.
Berita Rekomendasi Pengalaman Sound Berkesan di Pajero Sport Rockford Fosgate [PR] Karya Chairil Anwar yang Tak Lekang Waktu

Penulis puisi "Aku" tersebut memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), yang merupakan Sekolah Dasar (SD) bagi orang-orang pribumi pada masa penjajahan. Ketika usianya 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah.

Setahun kemudian, pria yang mahir berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda sampai Jerman itu memutuskan ikut sang ibunda pindah ke Batavia (kini Jakarta-red) setelah perceraian kedua orangtuanya. Kepindahannya ke Batavia, menjadi pembuka perkenalannya dengan dunia sastra.

Pada 1942, namanya mulai melejit saat tulisan pertamanya dipublikasikan Majalah Nisan. Sepanjang hayatnya, dia telah menghasilkan 94 karya, termasuk 70 puisi. Namun di usianya yang masih muda, Chairil Anwar harus tutup usia.

Menjelang usia 27 tahun, ayah satu putri itu terserang sejumlah penyakit. Dia meninggal di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM) pada 28 April 1949.

Kini, lebih dari setengah abad sudah sang penyair pergi. Namun, karya-karya yang diciptakannya masih hidup di tengah masyarakat. Bahkan hari kematiannya pun diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Karya Sastra Sekarang
Saat ini keberadaan dunia sastra telah mencapai titik nadir. Begitu banyak generasi sekarang yang tidak lagi mengenal jenis-jenis karya sastra - dan karena itu sudah barang tentu perhatian terhadap dunia sastra yang semakin memprihatinkan bisa dimaklumi. Kalaupun ada segelintir orang yang mempunyai i'tikad baik untuk menekuni sastra mereka selalu dihadapakan dengan persepsi dan pola pikir yang memandang dengan sebelah mata setiap aktivitas dan jenis-jenis karya sastra.

Sastra itu tidak menjanjikan masa depan yang cerah dan karena itu kita tidak perlu membuang waktu dan tenaga untuk hal-hal seperti itu. Kurang lebih seperti itulah penilaian masyarakat sekarang terhadap sastra. Pola pikir pragmatis tampak masih mendominasi cara pandang manusia untuk melihat segala sesuatu ketimbang ketetapan hati nurani. Sebab berbicara tentang sastra tidak akan terlepas dari lantunan hati untuk mengungkapkan kedalaman dari setiap persoalan hidup.

Padahal jika kita ingin konsisen, sastra memiliki andil besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Pada masa kolonial misalnya sifat sastra memiliki warna tersendiri seperti : Berisi cerita dan sajak-sajak di tengah-tengah satu perang yang dasyat, mengandung usaha menimbulkan semangat serta menyebarkan patriotisme atau menganjurkan semangat bekerja.

Di tengah keterlemparan sastra sebagai bagian penting dari kehidupan kita apa yang mesti kita lakukan?

Menjadi pribadi, kelompok atau organisasi yang apatis tentu bukanlah sikap yang tepat. Sebaliknya kita dituntut membagun sikap optimis, melakukan gerakan nyata sehingga sastra bisa kembali pada tempatnya. Dalam usaha ke arah sana, perayaan Hari Puisi Indonesia yang jatuh pada 28 April semestinya diapresiasi dan dilihat sebagai revitalisasi bagi kematian dunia sastra kita.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. Ditambahkan juga dalam firman Allah Surah At-Tin ayat 4. Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang kreatif. Terkadang masih banyak yang tak menyadarinya. Puisi ada di setiap hal, bahkan dimana-mana. Tidak hanya tentang mengolah kata, tetapi mula-mula melatih sensitivitas kita. Ketika sensitivitas itu ada, puisi akan ada hadir di hati kita.

Mencintai Itu Seperti Main Layangan. . .

Mencintai itu seperti main layangan..
Jika ditarik serampangan bakal putus
Bila diulur sembarang bakal dicuri angin

Mencintai itu seperti main layangan
Tangan sering berdarah-darah tergores benangnya
Tapi kita tidak pernah kapok memainkannya

Mencintai itu seperti main layangan
Waktu lihat ada layangan putus
Kita jatuh bangun mengejar
Tak peduli terik matahari membakar
Tak peduli makian pengendara yang terpaksa ngerem mendadak
Kadang kita dapat layangannya, kadang pula tidak

Mencintai itu seperti main layangan
Waktu layangan kita putus
Kadang menyerah lalu pulang, besok beli yang baru
Kadang tidak rela, masih mengejar sampai dapat

Mencintai itu seperti main layangan
Walau sering jatuh sakit karena kepanasan
Walau tubuh penuh luka karenanya
Walau sering dimarahin orang tua karena lupa pulang
Tetap saja bikin kita kecanduan

Bagi saya, mencintai itu seperti main layangan
Makin tinggi terbangnya makin girang
Tapi perlu hati-hati agar tidak hilang

Bagimu mencintai itu seperti apa?

Sabtu, 28 April 2018

Hati Ini Tetep Hina

(قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۖ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ)
[Surat An-Naml 34]

- Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.

Takwil Sufistiknya;

"Sesungguhnya 'Ilahi' apabila memasuki suatu 'hati', niscaya Ilahi akan memfanakannya, dan menjadikan seseorang yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat".

Sebab itu jika seseorang telah mengaku hatinya telah bertemu dengan Tuhan, seharusnya ia merasakan kehinaan dan kerendahan dihadapan Ilahi. tak lantas membuat hatinya menjadi mulia.

Jadi jika hati seseorang merasa mulia karena merasa dirinya telah menjadi seorang sufi atau telah memahami terma-terma sufistik, sebenarnya pada saat itu bukan Ilahi yang bertajalli pada hatinya, namun yang bertajalli adalah keangkuhan, kesombongan, ujub, dan riya dimana sifat-sifat tersebut adalah manifestasi dari sifat-sifat setan.

~ Muh. Nur. Jabir ~

Gus Dur muda di kenal sebagai penulis esai produktif

Gus Dur, demikian panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, sang presiden RI ke empat. Gus Dur dikenal sebagai sosok yang jago mengulas teori, serta ideologi lain, seperti kapitalis dan komunis.

Tulisannya berserak diberbagai media. Gus Dur muda memang dikenal sebagai kolumnis produktif. Ada sebuah cerita menarik yang di kisahkan Goenawan Mohammad, pendiri Majalah Tempo.

Bahkan, pihak tempo menyediakan meja yang di lengkapi mesin tik khusus untuk Gus Dur. Menurut Goenawan tidak boleh ada yang mengganggunya.

Setiap kali datang, Gus Dur selalu menuju meja itu. Duduk, langsung hanyut dalam tulisannya. Jika sudah rampung, ia membawa hasil ketikannya.

Goenawan mengatakan, Gus Dur selalu meminta honor setelah hasil ketikannya ia serahkan. Padahal, tulisannya belum dimuat.

"Jadi, tulisan belum dimuat, Gus Dur sudah mengijon honornya," kata Goenawan di lansir dari Boombastis, 17 Februari 2017

Sumber : riauonline.com
Nafas Pembaharuan
Hi-Story "Sejarah dalam kisah"

Lima Jalan Esai Menurut KH. Abdurrahman Wahid

Diriwayatkan oleh Syu’bah Asa di esai “Gus Dur Mencapai Cita-Citanya” dalam Melawan Melalui Lelucon (2000), tersebutlah bahwa Gus Dur itu orangnya bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon.

Alkisah di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain.

Produktivitas Gus Dur itu bikin pemimpin redaksi Goenawan Mohamad menyarankan kepada Syu’bah Asa mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.

Dan demikianlah, Gus Dur datang untuk menulis kolomnya di TEMPO dengan gaya yang selalu siap untuk (menulis kolom) ngobrol, pakai sandal, tidak pernah bersepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Gus Dur selalu membawa lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, barula ia menuju mejanya dan mulai mengetik. Sekitar dua jam kemudian ia mendatangi Goenawan, atau saya, dan menyerahkan tulisannya.

“Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.”

Sesudah itu ia tak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Asalkan masih tetap pikiran dia tentu saja. Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak.

Demikianlah Gus Dur menulis esai yang diriwayatkan Syu’bah Asa.

Dan sampailah ke saya. Setelah membaca (lagi) serangkaian esai Gus Dur, baik yang dimuat di Prisma, Kompas (sudah dikumpulkan dalam satu buku), maupun Tempo (sudah dikumpulkan dalam satu buku), saya mengerucutkan lima asas Gus Dur dalam menulis esai khas dirinya:

1. Menulislah dengan spontan. Dimulai dengan gojek di antara kenalan karena guyonan membuat rileks. Saat pikiran rileks itulah spontanitas muncul.

2. Disiplin. Banyak gojek, tak berarti leyah-leyeh. Ratusan esai yang sudah dituliskan tentu tak lahir dari kesembronoan menata waktu. Termasuk dalam hal ini disiplin dalam menulis cepat.

3. Pertajam indera. Bahkan saat dalam bus mendengarkan teriakan-teriakan kondektur bus dan segala perubahannya. Juga buka lebar-lebar mata membaca perubahan perilaku gaya hidup orang lain.

4. Silaturahmi. Pengalaman banyak ditimba dari silaturahmi. Pengalaman adalah salah satu data penting dalam membangun esai yang lancar.

5. Membaca. Mau jadi penulis esai, tapi malas membaca (esai)? Lupakan! Membaca menjadikan spektrum pikiran menjadi luas. Mentang-mentang dari pesantren, tahunya hanya soal agama melulu, kitab keluaran dari kawasan tertentu saja. Musik? Film? Sepak bola? Gaya hidup? Humor? Politik? Ekonomi? Buku? Agraria? Membaca memungkinkan menjadi banyak tahu. Perkara didalami semua, lain soal.

Dikutip : Muhidin M Dahlan
Dec 29, 2015

Jumat, 27 April 2018

Dalam Romantisme Kartini - DUTA MASYARAKAT

Beberapa nama tokoh perempuan perjuangan juga menghiasi sejarah bangsa kita, Tribuwana tungga dewi (memerintah kerajaan Majapahit), Christina Martha Tiahahu  dari Maluku , Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia, dua srikandi Aceh , dengan berbagai fakta sejarah di atas ternyata jauh sebelum Kartini banyak tokoh perempuan yang berhasil mengambil peran berjuang untuk memerdekankan bangsa Indonesia.

Diera  zaman perjuangan ada nama pejuang sosial, R.A. Kartini beliau lahir tanggal 21 April 1879  dan meninggal pada 17 September 1904 berati sudah hampir 112 tahun lamanya wafatnya pejuang perempuan tersebut. Akan tetapi namanya masih dikenal, dan hari lahirnya pun selalu diperingati setiap tahunnya  sebagai pejuang Perempuan.

Walaupun Kartini Pejuang Perempuan tersebut  wafat di usia yang cukup muda di usia 25 tahun, akan tetapi beliau sudah menorehkan sejarah dan dikenang dan kita selalu memperingati hari lahir ibu kita kartini tersebut. Perjuangan Kartini bisa kita jadikan sebagai pijakan tentang bagaimana seharusnya perempuan berperan dalam kehidupannya.

Setiap memasuki bulan April, masyarakat Indonesia terutama kaum perempuannya dipastikan akan hanyut dalam euphoria `Kartini'. Yah, karena bertepatan dengan tanggal 21 April, bangsa kita selalu memperingati Hari Kartini. Kartini merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang dikenal melalui spirit emansipasi perempuannya, dan karena spiritnya tersebut Kartini menjadi berjasa bagi perempuan-perempuan Indonesia.

Konstruksi kepatutan dalam masyarakat yang meletakkan peran perempuan hanya pada ranah domestik, telah memasung kaki perempuan dari kesempatan untuk berekspresi. Sepatutnya perempuan yang berusia dua puluh sekian tahun sudah menikah, kemudian mereka kelimpungan mencari calon suami. Sepatutnya perempuan yang sudah menikah segera bereproduksi, kemudian ada tuntutan pada fungsi rahimnya. Sepatutnya perempuan diam di rumah dan mengurus keluarga, kemudian dibatasi ruang geraknya.

Dan segudang kepatutan-kepatutan lain yang menekan dan mengikat kaki mereka erat-erat. Belum Iagi perbincangan mengenai rumah tangga dan perkawinan yang sering kali meletakkan fokus pada peran perempuan semata, menjadikan ikatan itu semakin erat.

Padahal, sebagai bagian dari masyarakat, perempuan memiliki peluang untuk berperan secara aktif pada ranah publik. Entah itu sebagai tenaga pekerja, tenaga pendidik atau apapun. Yang jelas, perempuan juga merupakan sumber daya manusia yang potensial dalam pembangunan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimilikinya.

Tidakjarang perempuan dengan pendidikan tinggi, berusia tiga puluh sekian tahun, berkarir dan belum menikah "dihakimi" secara sadis oleh konstruksi kepatutan itu. Anggapan bahwa terlalu memilih dalam mencari pasangan, terlalu fokus pada pendidikan dan karir sehingga tidak memikirkan jodoh, tidak membuka diri dalam pergaulan sampai hinaan tidak berpenampilan menarik atau bahkan sebutan jelek kerap melayang kepada mereka.

Belum Iagi fungsi rahimnya yang dipertanyakan. Padahal tidak seorang pun di luar sana yang benarbenar tahu apa yang dilalui dan sedang diperjuangkan oleh para perempuan. Belum Iagi sesama perempuan nantinya akan berjuang demi kebenaran status mereka sebagai ibu yang tinggal di rumah atau ibu bekerja yang sebetulnya tidak perlu.

Perempuan memiliki Iahan perjuangannya masing-masing yang tidak perlu dibandingbandingkan apalagi dihakimi. Sehingga, konstruksi kepatutan-kepatutan yang ada sebaiknya dipikirkan ulang oleh masing-masing dari kita untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan, sikap menghakimi dan menjegal ekspresi seorang perempuan.

Momen peringatan hari kelahiran R.A. Kartini bisa dimanfaatkan untuk kembali menggali makna perjuangan beliau secara utuh. Bukan hanya sebatas perayaan simbolik dengan mengenakan kebaya dan berkonde atau lomba memasak semata. Perjuangan Kartini Iebih cerdas dari sekedar ornamen dan solekan yang melekat pada tubuh perempuan.

"Seperti pemikiran beliau yang menempatkan pendidikan sebagai harga mati agar masyarakat berpikiran maju, perempuan butuh pengetahuan dan pendidikan yang luas untuk menjadi manusia pembangunan; baik itu di ranah domestik maupun publik".

Biarkan mereka memilih ranah perjuangan mereka dan keputusan itu bukan untuk dihakimi. Jangan biarkan kepatutan-kepatutan yang terkonstruksi di masyarakat mendikte masa depan perempuan. Selamat Hari Kartini, bagi perempuan Indonesia.


Oleh : Rahmat Asmayadi

Guru SDN Suko 2 Kecamatan Sidoarjo dan Sekretaris III PAC Ansor tinggal di Sidoarjo 

Sumber : Koran DUTA MASYARAKAT
Edisi : Jumat, 20 April 2018
Regional : Beredar di Surabaya dan Jakarta

Kamis, 19 April 2018

Jangan Lupakan Sejarah

Ayo bangsa Indonesia,
Dengan jiwa yang berseri-seri.
Mari berjalan terus,
Jangan berhenti.
Revolusimu belum selesai,
Jangan berhenti.
Sebab siapa yang berhenti akan di sêrét oleh Sejarah.
Dan siapa yang menentang corak dan arahnya sejarah,
Tidak perduli tiada bangsa apapun,
yang akan digiling, dijilat oleh sejarah itu amat sekali.

Ir. Soekarno

Minggu, 15 April 2018

Keluar Kelas Saja agar Tidak Bosan

SDN Suko 2 Kecamatan Sidoarjo menggelar kegiatan outbound atau pembelajaran di alam terbuka di Wisata Bukit Flora, Kecamatan Tutur, Pasuruan, Rabu (21/3/2018). Outbond diikuti siswa Kelas 5.

Pembelajaran di luar kelas itu berguna untuk melatih motorik anak dan membuat anak lebih fresh atau tidak bosan. Namun, beberapa orang tua/wali murid ada yang ikut untuk mendampingi siswa.

Saras, salah satu wali murid mengatakan, kegiatan itu sangat positif karena dapat menumbuhkan semangat anak-anak.

“Saya sangat mendukung anak saya ikut. Apalagi anak saya cowok, jadi saya perbolehkan ikut semua permainan supaya dia lebih berani. Lagi pula tempatnya tidak kotor,” ucapnya.


Antusiasme orang tua dalam mendampingi anaknya sangat baik. Selain sigap membawa kebutuhan makanan, orang tua juga sigap membawa kebutuhan di lapangan.

“Saya bawa snack untuk anak, terus bawa lotion antinyamuk karena di sini kan banyak nyamuk,” ujar Evi, orang tua siswa.

Kegiatan di luar ruangan itu tentunya sangat ditunggu anak-anak. Apalagi mereka sudah diberi tahu ada banyak permainan yang akan mereka jalani, salah satunya flying fox, tarik tambang, dan kolam renang.

Rointan Padosi, guru Kelas 5 mengatakan, kegiatan itu bertujuan merekatkan persaudaraan antarsiswa dan membantu meningkatkan kecerdasan motorik. Itu juga melatih sikap sosial bagi siswa setelah mengikuti ulangan tengah semester.

“Beragam permainan tentu memerlukan penjagaan ekstra untuk siswa. Oleh sebab itu, kami sudah menyiapkan berbagai perlengkapan termasuk untuk kesehatan," ungkapnya.

Rahmat Asmayadi
Guru SDN Suko 2 Kecamatan Sidoarjo 
Sidoarjo


Sumber : surabaya.tribunnews.com
Koran SURYA 
Edisi : Sabtu, 7 April 2018 


Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...