Minggu, 29 April 2018

Sejarah Bersastra dan Keberadaan Puisi Sekarang

Setiap tahun, 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Penetapan hari ini erat kaitannya dengan penyair Tanah Air, Chairil Anwar.

Jika kamu pernah mendengar tentang puisi "Cerita Buat Dien Tamaela", maka nama Chairil Anwar tak asing lagi. Ya, dialah pencipta karya yang melegenda tersebut.

Chairil Anwar sendiri merupakan seorang penyair kebanggaan Indonesia. Dia lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922 dari pasangan Toeloes dan Saleha. Di usianya yang masih 15 tahun, Chairil Anwar sudah bertekad untuk menjadi seorang penyair.
Berita Rekomendasi Pengalaman Sound Berkesan di Pajero Sport Rockford Fosgate [PR] Karya Chairil Anwar yang Tak Lekang Waktu

Penulis puisi "Aku" tersebut memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), yang merupakan Sekolah Dasar (SD) bagi orang-orang pribumi pada masa penjajahan. Ketika usianya 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah.

Setahun kemudian, pria yang mahir berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda sampai Jerman itu memutuskan ikut sang ibunda pindah ke Batavia (kini Jakarta-red) setelah perceraian kedua orangtuanya. Kepindahannya ke Batavia, menjadi pembuka perkenalannya dengan dunia sastra.

Pada 1942, namanya mulai melejit saat tulisan pertamanya dipublikasikan Majalah Nisan. Sepanjang hayatnya, dia telah menghasilkan 94 karya, termasuk 70 puisi. Namun di usianya yang masih muda, Chairil Anwar harus tutup usia.

Menjelang usia 27 tahun, ayah satu putri itu terserang sejumlah penyakit. Dia meninggal di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM) pada 28 April 1949.

Kini, lebih dari setengah abad sudah sang penyair pergi. Namun, karya-karya yang diciptakannya masih hidup di tengah masyarakat. Bahkan hari kematiannya pun diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Karya Sastra Sekarang
Saat ini keberadaan dunia sastra telah mencapai titik nadir. Begitu banyak generasi sekarang yang tidak lagi mengenal jenis-jenis karya sastra - dan karena itu sudah barang tentu perhatian terhadap dunia sastra yang semakin memprihatinkan bisa dimaklumi. Kalaupun ada segelintir orang yang mempunyai i'tikad baik untuk menekuni sastra mereka selalu dihadapakan dengan persepsi dan pola pikir yang memandang dengan sebelah mata setiap aktivitas dan jenis-jenis karya sastra.

Sastra itu tidak menjanjikan masa depan yang cerah dan karena itu kita tidak perlu membuang waktu dan tenaga untuk hal-hal seperti itu. Kurang lebih seperti itulah penilaian masyarakat sekarang terhadap sastra. Pola pikir pragmatis tampak masih mendominasi cara pandang manusia untuk melihat segala sesuatu ketimbang ketetapan hati nurani. Sebab berbicara tentang sastra tidak akan terlepas dari lantunan hati untuk mengungkapkan kedalaman dari setiap persoalan hidup.

Padahal jika kita ingin konsisen, sastra memiliki andil besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Pada masa kolonial misalnya sifat sastra memiliki warna tersendiri seperti : Berisi cerita dan sajak-sajak di tengah-tengah satu perang yang dasyat, mengandung usaha menimbulkan semangat serta menyebarkan patriotisme atau menganjurkan semangat bekerja.

Di tengah keterlemparan sastra sebagai bagian penting dari kehidupan kita apa yang mesti kita lakukan?

Menjadi pribadi, kelompok atau organisasi yang apatis tentu bukanlah sikap yang tepat. Sebaliknya kita dituntut membagun sikap optimis, melakukan gerakan nyata sehingga sastra bisa kembali pada tempatnya. Dalam usaha ke arah sana, perayaan Hari Puisi Indonesia yang jatuh pada 28 April semestinya diapresiasi dan dilihat sebagai revitalisasi bagi kematian dunia sastra kita.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. Ditambahkan juga dalam firman Allah Surah At-Tin ayat 4. Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang kreatif. Terkadang masih banyak yang tak menyadarinya. Puisi ada di setiap hal, bahkan dimana-mana. Tidak hanya tentang mengolah kata, tetapi mula-mula melatih sensitivitas kita. Ketika sensitivitas itu ada, puisi akan ada hadir di hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...