Senin, 27 Agustus 2018

Esensi Belajar Wayang Kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

Sejarah Wayang Kulit
          Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
konsep filsafat menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Hadirnya tokoh panakawan dalam  pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In¬donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem¬perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Mengenai asal-usul wayang kulit di indonesia ada dua pendapat. Pendapat pertama: bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Jawa Timur. Pendapat ini dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasannya karena seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
           Pendapat kedua: wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Pendapat ini dikemukakan oleh Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
           Sejak tahun 1950-an, buku-buku pe¬wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
          Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo¬nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur¬nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa¬yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per-tunjukan wayang.
          wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis¬toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone¬sia halaman 987.
Pembuatan
         Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
           Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.

Dari Kearifan Lokal, Tumbuhkan Pendidikan Karakter

Pendidikan dipercaya dapat mengemban tugas untuk membentuk insan yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Melalui pendidikan diharapkan terbentuk tunas-tunas bangsa yang cerdas, berjiwa kebangsaan, cinta tanah air, bertanggung jawab, peka terhadap sosial dan lingkungan.

Dengan kata lain, pendidikan mempunyai kewajiban membentuk moral bangsa. Namun, kenyataannya pendidikan telah gagal mengemban tugas mulia tersebut. Kegagalan pendidikan mengemban tugas tersebut dapat dilihat masih banyaknya terjadi tindak pidana korupsi, narkoba, kerusuhan, terorisme, dan lain sebagainya.

Kegagalan dunia pendidikan dalam mengemban tugas, tentu ada penyebab yang perlu dikritisi agar bisa dicarikan solusi yang tepat. Para ahli menduga bahwa penyebab kegagalan pendidikan dalam membentuk moral bangsa adalah diakibatkan oleh pengembangan pendidikan selama ini tidak memberikan perhatian yang seimbangan antara kecerdasasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual (Asmani, 2012).

Pendidikan lebih menekankan pengembangan aspek intelektual semata dan mengesampingkan aspek hati nurani, iman, dan keterampilan berperilaku. Setiap sekolah berlomba-lomba mengejar target kurikulum yang ditandai dengan materi yang tertuang dalam kurikulum telah disampaikan kepada peserta didik (Judiadi, 2010).

Di satu sisi, guru dikejar oleh waktu harus menyelesaikan sekian kompetensi dalam satu semester, dan di sisi lain siswa dituntut untuk menguasai materi sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan siswa hanya terasah pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan konatifnya terabaikan.

Pola pendidikan seperti tersebut yang telah berlansung dalam waktu cukup lama berakibat pada matinya hati nurani siswa (Nurchaili, 2010). Siswa menjadi tidak peduli pada lingkungan sosial, siswa menjadi tidak peka terhadap lingkungan sekitar, dan siswa tidak menyadari bahwa tujuan hidup adalah memberikan pelayanan dan saling menolong terhadap sesama.

Permasalahan lainnya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah guru bidang studi tertentu memiliki pandangan bahwa urusan perilaku dan moral anak sudah ditangani oleh guru PKn dan guru agama.

Dengan kata lain, guru bidang studi lainnya tidak merasa memiliki kewajiban untuk membina moral anak. Ternyata, melalui pendidikan PKn dan agama belum mampu memperbaiki persoalan perilaku siswa. Bahkan, tindakan-tindakan tidak terpuji terus meningkat di kalangan remaja.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pendidikan PKn dan agama dianggap telah gagal melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pemerintah membuat kebijakan dengan wajib memasukkan pendidikan budi pekerti ke dalam kurikulum di sekolah, untuk mengatasi persoalan merosotnya moral remaja.

 

Pemerintah menaruh harapan besar bahwa melalui pendidikan budi pekerti diharapkan dapat mengikis terjadinya demoralisasi bangsa. Namun, pendidikan budi pekerti juga bernasib sama dengan PKn dan agama. Demoralisasi bangsa tidak dapat dibendung, ibarat penyakit sudah sangat kronis, sehingga sulit untuk disembuhkan.

Kegagalan PKn, pendidikan agama, dan pendidikan budi pekerti disinyalir karena ketiga mata pelajaran tersebut hanya diajarkan dalam bentuk teori, namun tidak diteladankan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa hanya diajak untuk menghapal konten semata, tetapi teladan dari pendidiknya sangat kurang.

Di samping itu, penerapan PKn, pendidikan agama, dan pendidikan budi pekerti belum memiliki format/pola yang jelas. Dengan kata lain, belum ada pola penerapan yang tepat di dalam mengemas ketiga jenis pendidikan tersebut.

Pemerintah terus mencari solusi yang tepat untuk mengatasi krisis moral tersebut. Pemerintah akhirnya menggunakan pendidikan karakter. Sampai saat ini pendidikan karakter diharapkan mampu sebagai “obat yang manjur” untuk menyembuhkan penyakit kronis yang telah menahun.

Namun sebagai sebuah konsep, pendidikan karakter tidak serta merta langsung bisa diterapkan di sekolah-sekolah. Diperlukan suatu pola atau cara menerapkan pendidikan karakter agar efektif mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Dalam kaitannya mencari pola penerapan pendidikan karakter, integritas kearifan lokal di sekolah merupakan gagasan yang perlu diimplementasikan.

Secara etimologis, kearifan berarti kebijaksanaan, pengetahuan atau kecakapan untuk mengetahui, mengenal, menyetujui, membedakan, mencari tahu, menyelidiki, dan mengakui yang benar atau salah (Atmadja, 2008).

Kearifan tidak hanya bertumpu pada pengetahuan pengalaman, tetapi terkait pula dengan pola berpikir holistik, mengingat pengetahuan manusia bersifat kompleks (Suja, 2010). Kearifan juga berdimensi lokal, sehingga dapat ditambahkan label “keruangan” menjadi kearifan lokal (lokal wisdom).

Istilah kearifan lokal tidak hanya mengandung makna bahwa kearifan tersebut tumbuh dari pemecahan masalah yang bersifat lokal, tetapi kesahihannya pun terbatas pada lingkungan di mana dia tumbuh dan berkembang (Suja, 2010).

Kearifan lokal dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu pengetahuandan tindakan yang berpola, dan lazim diwariskan secara turun-temurun atau lintas generasi membentuk tradisi (Atmadja, 2011). Atas dasar itu, kearifan lokal disebut juga kearifan tradisional, yang sering dikaitkan dengan daerah atau etnik tertentu.

Secara substansi, kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan yang sudah mentradisi, menjadi milik kolektif, dan bersifat fungsional untuk memecahkan masalah, setelah melewati pengalaman dalam dimensi ruang dan waktu secara berkelanjutan (Padmanugraha, 2010).

Pengalaman tersebut ada yang berkaitan dengan interaksi antar manusia atau hubungan manusia dengan alam. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipilah menjadi kearifan sosial dan kearifan ekologi.

Kearifan sosial dipedomani agar menjadi makhluk sosial yang arif dan bijaksana. Kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik (sekala) dan supernatural (niskala). Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sarana untuk membangun dan megembangkan karakter masyarakat.

Berdasarkan makna kearifan lokal yang telah dipaparkan di atas, beberapa kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di Bali dan yang sudah dikenal masyarakat luas berkaitan kearifan sosial yaitu Tattwamasi, Tri Kaya Parisudha, dan Tri Hita Karana.

Tattwamasi artinya kamu adalah aku dan aku adalah kamu. Dalam ajaran Tattwamasi ini mengandung prinsip kebersamaan dan kesetaraan yang juga dikonsepsikan ke dalam asas-asas, seperti suka-duka (suka dan duka di rasakan bersama), salunglung sabayantaka (baik buruk, mati hidup ditanggung bersama), dan saling asah, asih, asuh (saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi).

Tri kaya parisudha artinya tiga perilaku yang harus disucikan, yakni manacika (berpikir yang baik), wacika (berkata-kata yang baik), dan kayika (berbuat yang baik) (Pokja Soft Skills, 2011: 7). Ajaran tri kaya parisudha ini mengandung prinsip bahwa perbaikan itu harus dimulai dari dalam diri. Melalui ajaran tri kaya parisudha ini masyarakat diharapkan dapat mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian.  

Tri Hita karana artinya tiga penyebab kebahagiaan manusia. Ketiga penyebab kebahagiaan tersebut, yaitu 1. parahyangan (manusia menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan),  2. pawongan (manusia menjaga hubungan harmonis dengan sesama), dan 3. palemahan (manusia menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan). Ajaran tri hita karana ini mengandung prinsip bahwa manusia adalah makhluk religius, sosial, dan humanis.

Dalam konteks pembelajaran, juga dikenal beberapa kearifan lokal Bali. Kearifan lokal tersebut berkaitan dengan metode pembelajaran yang menjadikan manusia arif, yakni melajah sambilang mesatua (belajar sambil bercerita), melajah sambilang mapalalian (belajar sambil bermain), melajah sambilang megending (belajar sambil bernyanyi), melajah sambilang megae (belajar sambil mengerjakan).

Selanjutnya, dalam upaya memperoleh pengetahuan/kebenaran, masyarakat Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu memiliki kearifan yang disebut dengan Tri Premana. Tri Premana adalah tiga cara untuk mengetahui kebenaran (Sudharta dan Atmaja, 2005:8).

Ketiga cara tersebut yaitu sabda premana, pratyaksa premana, dan anumana premana. Sabda Premana adalah cara belajar yang dilakukan dengan memperoleh informasi/mendengarkan langsung dari sumber belajar.

Pratyaksa Premana adalah cara belajar yang dilakukan dengan cara mengamati secara langsung lingkungan sebagai sumber belajar.

Anumana Premana adalah cara belajar yang dilakukan dengan penalaran terhadap materi, konsep/pengetahuan yang tidak dapat dijangkau secara langsung.

Ketiga langkah tersebut, menurut Subagia dan Wiratma (2006) menjadi satu kesatuan yang disebut siklus belajar.

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...