Selasa, 29 Januari 2019

Air Terjun Enteng Jodoh

Destinasi Air Terjun Coban Canggu, di Desa Padusan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto memiliki keindahan luar biasa. Butiran air yang cukup halus, menjadi salah satu tempat wisata alam pegunungan yang terletak di Lereng Gunung Welirang. Wisata alam ini tak pernah sepi para pengunjung, baik warga sekitar atau yang datang dari luar kota.
Untuk mencapai air terjun ini, dibutuhkan fisik yang kuat, karena akses untuk menuju lokasi terbilang melelahkan. Pengunjung harus melewati beberapa anak tangga untuk menuju ke air terjun dengan ketinggian 100 m ini. Jalan yang akan dilalui juga berkelok dan terjal dan harus menyebrangi beberapa aliran sungai.
Pengunjung juga diperbolehkan untuk mandi ataupun bermain air d coban ini, sambil melihat keriuhan monyet-monyet yang berayun di dahan pohon. Untuk tiket masuk Air Terjun Coban Canggu ini, Anda hanya perlu membayar Rp. 7.500/orang.
Pengelola wisata Coban Canggu, Didik Khusnul Yakin, mengatakan tempat wisata ini baru dibuka kurang lebih 5 bulan yang lalu. Meskipun begitu, pengunjung yang datang sudah cukup banyak. "Pengunjung rata-rata setiap hari 20 orang. Kalau akhir pekan bisa sampai 150 orang," ujarnya pada Sabtu (12/01/2019).
Didik mengungkapkan, di dekat air terjun tersebut juga terdapat sumber yang diyakini warga sekitar berkhasiat untuk enteng jodoh. Namun, itu hanya mitos dari daerah setempat. Boleh percaya boleh tidak.
Laili Mufarikha salah satu pengunjung mengaku, meski harus berjalan jauh dengan melalui anak tangga menuju lokasi air terjun Coban Canggu, hal itu tidak akan terasa capek. Karena selama perjalanan akan disuguhi berbagai pemandang alam pegunungan serta pemandangan alam pertanian yang indah.
"Tidak hanya menikmati indahnya air terjun, lokasi ini juga menjadi tempat faforit untuk latar belakang berfoto selfie," kata Rikha.
Pada musim liburan banyak pengunjung berdatangan, umumnya adalah muda-mudi. Konon menurut cerita, air terjun Coban Canggu dipercaya bisa mengembalikan hubungan keharmonisan mereka yang sedang retak. Selain itu banyak pula keluarga yang mengisi liburan bersama putra-putrinya.

Dimuat Koran SURYA, edisi: Ahad, 27 Januari 2019
*Rahmat Asmayadi, Penikmat Kopi Susu tinggal di Sidoarjo

Sastrawan adalah Politikus Sejati

Istilah "politik" bukanlah hal yang baru bagi generasi milenial yang memiliki fasilitas mengakses informasi-komukasi secara kencang-global. Kasus-kasus korupsi, kekerasan, intimidasi, dan sekitarnya sering dikaitkan dengan "politik". Tidak luput pula istilah "tahun politik" dengan Pilkada Serentak, dan sebagian pelaku politik praktis berancang-ancang menuju Pileg-Pilpres 2019.
Jika politik mengotori, sastra menyucinya. Ungkapan John F. Kennedy ini sedemikian terkenalnya, sehingga kemudian para sastrawan terlegitimasi kebersihannya. Lalu, orang-orang pun menganggap karya-karya sastra sebagai karya yang dapat menyuarakan kebebasan, hati nurani, dan nilai-nilai moralitas. Bacalah sastra agar mata hati dapat terasah dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, sastra yang baik dapat mengajak manusia kembali merenungi sebuah perjalanan kehidupan; tidak dengan kaca mata hitam-putih, salah benar, atau dosa-pahala, tetapi penuh dengan backround, sebab-akibat, dan kelaziman-toleransi.
Anggapan-anggapan ini mengakibatkan pembaca menganggap sastrawan sebagai sosok yang suci atau yang membersihkan noda para politikus. Sastrawan tak boleh berpolitik. Sebab, jika sastra berpolitik, karya-karya yang lahir penuh kekotoran sebagaimana sifat politik. Tidak. Sastrawan harus berada di atas politikus. Pekerjaan sastrawan lebih mulia karena membawa suara kebajikan, suara moral dan etika, suara kemanusiaan, serta jauh dari nilai-nilai kekejian dan sesuatu yang dapat merendahkan manusia.
Dalam beberapa kesempatan, Rendra menyatakan alergi politik walau dalam keseharian, tanpa pernah ia sadari ia telah berpoltik. Simak saja sajak-sajaknya yang penuh dengan irama pemberotakan seperti yang terkumpul dalam Potret Pembangunan dalam Sajak (1979). Sajak-sajak Rendra justru lebih pas diteriakkan dalam sebuah demontrasi mahasiswa. Ada juga Taufiq Ismail yang sajak-sajaknya sangat dekat dengan pergolakan tahun 1966. Dan, coba kita simak karya-karya Mansur Samin, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, bahkan Sapardi Djoko Damono, Sutardji calzoum Bachri, Afrizal Malna, dan Agus R. Sardjono sekalipun. Pertanyaannya, tidakkah ada nada pemberontakan dalam karya-karya mereka? Artinya, sekecil apa pun seorang sastrawan telah berpolitik dalam karyanya.
Seno Gumira Ajidarma pun berkata, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara,” untuk mengukuhkan posisi sastrawan di atas awan. Kalau pernyataan ini, jelas informasi seburuk apa pun harus diberitakan (dalam kalimat yang lebih ilmiah: sosialisasi politik harus tetap dikembangkan). Meski tak hendak menjadi agen perubahan (agent of change), karya-karya sastra dapat saja menjadi jembatan perubahan sosial. Sebut saja karya-karya Charles Dickens sebelum melahirkan Revolusi Industri di Inggris. Ada Boris Pasternak di Rusia yang berani melawan arus politik dalam berkarya. Leo Tolstoy menulis “Perang dan Damai”. Sastrawan Paclav Havel malah menjadi presiden betulan di negaranya (tidak seperti Sutardji yang jadi presiden penyair tanpa pemilu).
Dulu diributkan tentang sastra kontekstual. Sastra dalam konteks ini dimaksudakan untuk menjawab situasi dan kondisi yang berkembang di suatu tempat dan di suatu masa. Membicarakan karya sastra secara kontekstual, tentu dapat dihubungkan dalam konteks-konteks tertentu. Sebuah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) tentu memiliki background yang mewarnainya, lingkungan di mana karya itu bicara, ide-ide dan gagasan yang terkandung di dalamnya. Sekecil apa pun sebuah karya dapat memberikan pengaruh kepada pembacanya, mulai dari sekadar mengingat hingga mengajak untuk memberontak atas situasi (politik) yang tengah berlangsung.
Di sinilah sastrawan mulai berpolitik, dalam arti menanamkan pengertian kepada pembaca bahwa ada yang salah, ada yang mesti diperbaiki, ada yang harus diubah, dan akhirnya menanamkan kesadaran untuk melawan. Tak terhindari sastrawan, sadar atau tidak sadar, telah menjadi “provokator” jika tak hendak dikatakan politikus. Jika kemudian gagasannya merasuki setiap pikiran pembaca, bahkan masyarakat, sehingga melahirkan perubahan dalam pola pikir dan harapan bersama, sang sastrawan dengan sendirinya telah melakukan komunikasi politik yang berhasil. Tapi, tentu saja karya sastra tetap karya sastra. Bukan pamflet, selebaran atau provokasi berisi hasutan untuk merusak.
Beda sastrawan dan politikus adalah, jika politikus berjuang mendapatkan kekuasaan, maka sastrawan bekerja untuk mengembangkan kehidupan yang lebih damai, harmonis, dan penuh dengan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Sebab, sastra merupakan sisi kehidupan yang tertuang dalam bentuk tulisan. Sebagai pembaca, tentu kita akan daapt membedakan, mana karya sastra dan mana tulisan politik. Jelas beda. Cara menuliskannya berlainan. Jadi, tak perlu khawatir pembaca akan mengira kebohongan-kebohongan sebagai bentuk karya sastra. Sastra toh tak pernah berdusta?
Tapi, tidak bolehkah polikus menjadi sastrawan? Kalau begitu, mengapa Indonesia harus memiliki presiden penyair, paus sastra, atau sederet pangkat yang diberikan kepada pekerja sastra? Mengapa sastrawan masih membutuhkan penghargaan atau anugerah sastra? Dan, mengapa pula T. Wijaya mesti meributkan “Presiden Penyair” yang mungkin berlaku seumur hidup? Ah, bagaimana pun kehidupan politik memang selalu menarik bagi sastrawan. Mengapa mesti mengingkari soal ini? Apa salahnya sastrawan merangkap politikus? Takut karya sastra kehilangan kualitas atau malah dilacurkan untuk kepentingan politik tertentu? Kalau begitu, kia harus melarang karya-karya Pramudya Ananta Toer dan sastrawan-sastrawan kiri dan kanan lainnya.
Ah, kalau begitu kita pun nyata-nyata menyalahgunakan politik untuk mengekang kebebasan bersastra. Menurut saya, sastra dan politik tidak mungkin dipisahkan begitu saja. Politik sastra atau sastra politik, tinggal dibolak-balik, akan dapat membuat kehidupan sastra dan kehidupan politik menjadi lebih berkembang. Sebuah novel politik, tentu lebih bermakna apabila lahir dari sastrawan yang terlibat langsung dalam carut-marut kehidupan politik. Tanpa itu, sebuah karya sastra akan kering kerontang. Sastra adalah politik senyatanya. Di dalamnya konflik, manipulasi, korupsi, konsensus, dan integrasi menjadi indah. Kita dapat belajar dari politik dan sasta sekaligus.
Ya, sastra adalah politik, politik adalah sastra. Pada akhirnya, sastrawan adalah politikus. Apa lagi yang mesti kita ributkan?

*Rahmat Asmayadi, Penikmat kopi susu tinggal di Sidoarjo

Jumat, 18 Januari 2019

Aku Harus Pergi, ataukah Bertahan. . .

Bukan
Bukan aku tidak ingin berjuang mempertahankanmu
Bukan aku tidak ingin kau ada di sisiku
Bukan aku sudah lagi tidak menginginkamu
Bukan aku sudah tidak membutuhkanmu di hidupku

Aku ingin
Aku mau
Aku masih
Namun sepertinya kau tidak
Aku hanya tidak ingin lelah terus mengikutimu
sementara kau tidak pernah membiarkanku
berjalan disisimu

Ku rasa kali ini aku perlu mengikuti egoku
Rasionalku
Aku harus pergi darimu
Membangunjarak itu
Apakah aku mampu? Itu bergantung pada sikapmu
Kamu yang memaksaku
Aku merasa bodoh menyukaimu
Aku merasa kau jauh dari kata menghargai rasaku
Aku merasa kau pun mulai membangun tembok diantara kita

Aku hanya tidak ingin lelah
Aku hanya tidak ingin menjadi lebih bodoh
Aku hanya tidak ingin terus merindu dan kau acuhkan rasaku
Aku menyukaimu namun aku masih menyayangi diriku

Kali ini aku memang harus pergi dari rasa yang mulai bersemi ini
Rasa yg belakangan mengganggu hariku
Rasa yang belakangan terus tumbuh seiring perubahanmu

Ah apa aku terlambat?
Ku rasa tidak
Jika dirimu memang menginginkanku Seharusnya tidak seperti ini
lni terasa salah
Benar benar salah

Aku harus pergi darimu
Menjagajarak seiring waktu
Biar waktu yang menjawab seluruh tanyaku
akan perubahan sikapmu

Aku tau aku akan sangat merindukanmu
Tak apalah, demi kebaikanku aku tetap harus pergi menjaga jarak dari kamu.
Tak akan ku biarkan perasaan ini terus membodohiku
Untuk terus mengharapkanmu...

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...