Sabtu, 20 Juli 2019

Merindukan Pahlawan Demokrasi Era Milenial

Sebuah bangsa tak dapat hidup tanpa sosok pahlawan. Perjuangan merekalah yang melahirkan sebuah bangsa dan kisah tentang mereka jugalah yang membentuk imajinasi kolektif yang mempersatukan bangsa itu. Negeri ini tak abai soal itu. Selama berpuluh-puluh tahun imajinasi kolektif tentang para pahlawannya dirawat melalui berbagai cara. Pelbagai kisah kepahlawanan dituangkan ke dalam buku-buku sejarah agar generasi muda tak melupakan mereka.
Namun, derap sejarah kerap membawa kejutan. Meskipun dalam pendidikan formal generasi muda zaman ini juga menerima pelajaran tentang para pahlawan kemerdekaan Indonesia, rupanya mereka membangun imajinasi kolektif yang sama sekali lain.
Unduh koran disini 

 Dalam survei yang diadakan oleh Litbang Kompas (31 Oktober-1 November 2018), generasi milenial di Indonesia rupanya tidak lagi mengidentifikasi sosok pahlawan dengan para pejuang kemerdekaan. Bagi sebagian besar dari mereka (51,8 persen), sosok pahlawan adalah orang-orang yang gigih memperjuangkan kesejahteraan banyak orang. Selain itu, 39,5 persen menyebut para pahlawan adalah pembela kebenaran. Hanya 4,6 persen yang menyatakan bahwa para pahlawan adalah pembela kemerdekaan Indonesia.
Temuan menarik ini bisa menjadi titik tolak untuk memikirkan lebih jauh sebuah pertanyaan sederhana: pasca Pemilu 2019, sosok seperti apakah yang bisa disebut sebagai pahlawan negeri ini? Jawaban atas pertanyaan ini tentu menuntut pemahaman mengenai apa yang paling berharga dari demokrasi.
Demokrasi dan pemilu
Demokrasi berarti pelaksanaan pemilu. Itulah yang ada dalam benak cukup banyak orang ketika berbicara soal demokrasi. Pemahaman simplistis ini adalah buah dari lintasan sejarah. Setelah lama tenggelam sejak kelahirannya di Athena pada sekitar abad kelima SM, demokrasi kembali muncul di cakrawala politik dunia pada abad ke-18. Yang memicu kelahirannya kembali adalah dua revolusi besar di kedua sisi Samudra Atlantik.
Akan tetapi, karena wilayah Amerika Utara dan Perancis jauh lebih luas daripada Athena, demokrasi lahir kembali dengan bentuk yang berbeda dari pendahulunya. Apabila di Athena setiap warga kota (hanya laki-laki merdeka) terlibat langsung dalam proses deliberasi dan pengambilan keputusan mengenai tata aturan hidup bersama serta secara bergantian melaksanakan tugas pemerintahan, di Amerika Serikat dan Perancis, warga negara memilih wakil-wakilnya untuk melaksanakan peran itu. Oleh Alexander Hamilton, sistem ini disebut demokrasi representatif (representative democracy).
Sejak saat itu, demokrasi representatif pelan-pelan menyebar ke berbagai belahan dunia. Dengan kejatuhan Uni Soviet, lawan terakhirnya pun tumbang. Demokrasi representatif tampil sebagai pemenang dan kini dipandang sebagai sistem pemerintahan par excellence. Menolak sistem ini sama saja berpamitan dari panggung politik.
Kemenangan demokrasi representatif ini membuat orang tak lagi bertanya mengenai kebaikan dan keburukan sistem ini. Yang ada hanyalah pesta perayaan pemilu. Itulah mengapa setiap kali pemilu diadakan, negara lalu menjadi gaduh. Jalanan-jalanan ribut dengan kampanye, media massa penuh dengan opini ahli, dan media sosial dijejali dengan komentar para netizen.
Pemilu lalu menjadi pusat dari demokrasi seolah-olah pelaksanaan prosedur ini dengan sendirinya dapat menjamin bahwa penggunaan kekuasaan akan menjadi lebih bertanggung jawab. Padahal, dalam praktiknya tidak ada jaminan bahwa setelah pemilu selesai dan pemerintahan baru terbentuk, para politisi akan mengedepankan kepentingan pemilihnya.
Persis, inilah sisi gelap dari demokrasi representatif yang diungkap oleh John Dunn dalam The Story of Democracy. Pada akhirnya, demokrasi representatif tetap tidak menjadikan warga negara sebagai pemilih memiliki kuasa atas aturan dan kebijakan yang menentukan jatuh-bangun kesejahteraan hidupnya sehari-hari. Jika terus berlanjut seperti ini, demokrasi representatif dan pemilu tidak lebih dari sekadar alat pelegitimasi kekuasaan politis.
Demokratisasi pahlawan era milenial
Situasi seperti inilah yang tampaknya membuat bangsa ini merindukan pahlawan demokrasi di era milenial. Sebagaimana diungkapkan dengan cerdas oleh generasi milenial, tugas pahlawan pada zaman ini bukan lagi membela kemerdekaan Indonesia. Tugas mereka adalah membela kesejahteraan orang banyak dan membela kebenaran. Jika mau dirumuskan secara lebih lugas, ini berarti tugas para pahlawan era milenial adalah menjadi pengawal demokratisasi.
Demokratisasi menunjuk pada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pemilu. Demokratisasi adalah proses penanaman nilai dasar demokrasi ke dalam setiap ruang kehidupan. Dengan perkataan lain, demokratisasi tidak berhenti pada perkara pembentukan institusi yang memungkinkan pemilu bisa berlangsung. Lebih dari itu, demokratisasi terarah pada perubahan kultural yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai yang menjadikan demokrasi begitu berharga.
Nilai itu bertopang pada gagasan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang setara dalam pembentukan tata hidup bersama dan penggunaan kekuasaan yang ada di masyarakat. Di balik gagasan itu tentu saja adalah keyakinan bahwa setiap manusia dilahirkan setara dan karena itu memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kehidupannya.
Pokok yang terakhir ini memiliki implikasi penting. Karena yang dituju adalah pembelaan martabat setiap warga negara, demokratisasi perlu memperhitungkan fakta bahwa tidak setiap warga negara cukup berdaya untuk melaksanakan hak-hak politiknya. Ada yang memang sudah berdaya, tetapi tidak sedikit pula yang terpinggirkan karena kepentingannya tidak terwakili dalam kontestasi pemilu. Mereka inilah bagian dari negeri ini yang memerlukan pembelaan oleh para pahlawan demokrasi era milenial.
Maka, pahlawan demokrasi era milenial tidak akan hanya sibuk berteriak atas kemenangan pasca pemilu khususnya bagi politisi yang paling lihai menampilkan diri sebagai pembela rakyat lalu sesudah itu duduk tenang. Justru sebaliknya: sesudah pesta usai, ia akan berdiri paling depan menjadi pengawal demokratisasi. Dengan gigih, ia akan memperjuangkan aneka tindakan afirmatif untuk mengangkat kehidupan minoritas dan kelompok tak berdaya di negeri ini. Betapa negeri ini merindukan pahlawan demokrasi era milenial.
*Rahmat Asmayadi, Pengajar di SD Negeri Suko 2 tinggal di Sidoarjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...