Jumat, 27 April 2018

Dalam Romantisme Kartini - DUTA MASYARAKAT

Beberapa nama tokoh perempuan perjuangan juga menghiasi sejarah bangsa kita, Tribuwana tungga dewi (memerintah kerajaan Majapahit), Christina Martha Tiahahu  dari Maluku , Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia, dua srikandi Aceh , dengan berbagai fakta sejarah di atas ternyata jauh sebelum Kartini banyak tokoh perempuan yang berhasil mengambil peran berjuang untuk memerdekankan bangsa Indonesia.

Diera  zaman perjuangan ada nama pejuang sosial, R.A. Kartini beliau lahir tanggal 21 April 1879  dan meninggal pada 17 September 1904 berati sudah hampir 112 tahun lamanya wafatnya pejuang perempuan tersebut. Akan tetapi namanya masih dikenal, dan hari lahirnya pun selalu diperingati setiap tahunnya  sebagai pejuang Perempuan.

Walaupun Kartini Pejuang Perempuan tersebut  wafat di usia yang cukup muda di usia 25 tahun, akan tetapi beliau sudah menorehkan sejarah dan dikenang dan kita selalu memperingati hari lahir ibu kita kartini tersebut. Perjuangan Kartini bisa kita jadikan sebagai pijakan tentang bagaimana seharusnya perempuan berperan dalam kehidupannya.

Setiap memasuki bulan April, masyarakat Indonesia terutama kaum perempuannya dipastikan akan hanyut dalam euphoria `Kartini'. Yah, karena bertepatan dengan tanggal 21 April, bangsa kita selalu memperingati Hari Kartini. Kartini merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang dikenal melalui spirit emansipasi perempuannya, dan karena spiritnya tersebut Kartini menjadi berjasa bagi perempuan-perempuan Indonesia.

Konstruksi kepatutan dalam masyarakat yang meletakkan peran perempuan hanya pada ranah domestik, telah memasung kaki perempuan dari kesempatan untuk berekspresi. Sepatutnya perempuan yang berusia dua puluh sekian tahun sudah menikah, kemudian mereka kelimpungan mencari calon suami. Sepatutnya perempuan yang sudah menikah segera bereproduksi, kemudian ada tuntutan pada fungsi rahimnya. Sepatutnya perempuan diam di rumah dan mengurus keluarga, kemudian dibatasi ruang geraknya.

Dan segudang kepatutan-kepatutan lain yang menekan dan mengikat kaki mereka erat-erat. Belum Iagi perbincangan mengenai rumah tangga dan perkawinan yang sering kali meletakkan fokus pada peran perempuan semata, menjadikan ikatan itu semakin erat.

Padahal, sebagai bagian dari masyarakat, perempuan memiliki peluang untuk berperan secara aktif pada ranah publik. Entah itu sebagai tenaga pekerja, tenaga pendidik atau apapun. Yang jelas, perempuan juga merupakan sumber daya manusia yang potensial dalam pembangunan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimilikinya.

Tidakjarang perempuan dengan pendidikan tinggi, berusia tiga puluh sekian tahun, berkarir dan belum menikah "dihakimi" secara sadis oleh konstruksi kepatutan itu. Anggapan bahwa terlalu memilih dalam mencari pasangan, terlalu fokus pada pendidikan dan karir sehingga tidak memikirkan jodoh, tidak membuka diri dalam pergaulan sampai hinaan tidak berpenampilan menarik atau bahkan sebutan jelek kerap melayang kepada mereka.

Belum Iagi fungsi rahimnya yang dipertanyakan. Padahal tidak seorang pun di luar sana yang benarbenar tahu apa yang dilalui dan sedang diperjuangkan oleh para perempuan. Belum Iagi sesama perempuan nantinya akan berjuang demi kebenaran status mereka sebagai ibu yang tinggal di rumah atau ibu bekerja yang sebetulnya tidak perlu.

Perempuan memiliki Iahan perjuangannya masing-masing yang tidak perlu dibandingbandingkan apalagi dihakimi. Sehingga, konstruksi kepatutan-kepatutan yang ada sebaiknya dipikirkan ulang oleh masing-masing dari kita untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan, sikap menghakimi dan menjegal ekspresi seorang perempuan.

Momen peringatan hari kelahiran R.A. Kartini bisa dimanfaatkan untuk kembali menggali makna perjuangan beliau secara utuh. Bukan hanya sebatas perayaan simbolik dengan mengenakan kebaya dan berkonde atau lomba memasak semata. Perjuangan Kartini Iebih cerdas dari sekedar ornamen dan solekan yang melekat pada tubuh perempuan.

"Seperti pemikiran beliau yang menempatkan pendidikan sebagai harga mati agar masyarakat berpikiran maju, perempuan butuh pengetahuan dan pendidikan yang luas untuk menjadi manusia pembangunan; baik itu di ranah domestik maupun publik".

Biarkan mereka memilih ranah perjuangan mereka dan keputusan itu bukan untuk dihakimi. Jangan biarkan kepatutan-kepatutan yang terkonstruksi di masyarakat mendikte masa depan perempuan. Selamat Hari Kartini, bagi perempuan Indonesia.


Oleh : Rahmat Asmayadi

Guru SDN Suko 2 Kecamatan Sidoarjo dan Sekretaris III PAC Ansor tinggal di Sidoarjo 

Sumber : Koran DUTA MASYARAKAT
Edisi : Jumat, 20 April 2018
Regional : Beredar di Surabaya dan Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...