Rabu, 02 Mei 2018

Politik, Pasar, dan Ideologi

Jakarta - Ideologi politik kita sering berbenturan dengan berbagai kepentingan, baik dalam ranah privat maupun publik. Pertentangan antara dua kutub kepentingan ini bisa menjadi salah satu penyebab terciptanya situasi chaosdalam tatanan sosial.

Tanpa disadari, kita semua yang bermukim di balik sistem demokrasi sedang terjerembab dalam situasi serupa. Konflik horisontal maupun vertikal rentan terjadi dalam dunia perpolitikan.

Dengan adanya konflik seperti ini, maka unsur normatif negara yang legitim sifatnya sering menjadi petaruh dalam menetralisasi situasi sosio-politis. Segala bentuk relasi sosial kemudian digadai pada pola laku politis yang labil. Tak dipungkiri bahwa animo politik seperti ini lambat-laun menciptakan distorsi dalam ruang gerak publik.

Penyimpangan bisa menjadi penanda awal bagaimana ideologi politik kita mudah mengalami disorientasi. Segala bentuk norma, instruksi, dan rancangan dalam misi politis akan mangkir dalam sebuah sistem negara yang stagnan sifatnya. Bahkan psikologi politik seperti ini akan mereduksi sistem demokrasi bangsa yang sah dan integral.

Perhelatan kontestasi politik yang semakin dekat, membuat dunia politik makin hingar-bingar, ibarat produk komersial yang dijajakan ke tengah publik. Bukan hanya iklan politik yang nampak "terselubung" melalui model-model pencitraan para kontestannya, berbagai lembaga survei juga mulai menawarkan jasa-jasa politik mereka untuk membantu mendongkrak citra politik siapapun yang membutuhkannya. Berapa banyak lembaga survei yang merilis "produk politik"-nya yang disesuaikan dengan pesanan, menyurvei berbagai macam hal yang penting bisa mengubah opini publik.

Survei sepertinya telah menggiring opini publik untuk menjauhkan politik dari nilai-nilai ideologis berpolitik itu sendiri, mengarahkannya sekadar fokus pada bentuk-bentuk artistik politik. Isu politik bahkan direduksi menjadi semacam "produk komersial" yang diperjualbelikan. Kita tahu, bahwa isu-isu tertentu yang berkembang dalam masyarakat, seperti kebangkitan komunisme, politisasi agama, atau kenyataan korupsi lalu dimanipulasi menjadi dapat bernilai ekonomis dan dijual sebagai produk politik untuk kepentingan pragmatisme sesaat. Jarak yang semakin dekat dengan pagelaran kontestasi membuat berbagai lembaga survei maupun kontestan politik laku keras dan banyak diminati publik yang cenderung pragmatis dalam memandang dunia politik. 

Jika kita memperhatikan berbagai lembaga survei, tampak jelas mereka memperjualbelikan produk politiknya, dan tentu saja bekerja sama dengan media, bagaima kemudian sebuah hasil survei dapat dengan cepat mempengaruhi opini publik. Masyarakat tentu saja akan lebih mudah memahami lewat atraksi survei yang dipublikasikan media dengan kekuatan artistiknya, bukan pada pesan politiknya itu sendiri. Tak jarang, sebuah rilis survei yang dipublikasikan, mengangkat citra politik pihak tertentu, dan disisi lain menjatuhkan dan memberangus pihak lainnya yang dianggap sebagai lawan politik pemesan survei tersebut. Mirip dengan persaingan yang terjadi dalam dunia bisnis, komersialisasi dunia politik saat ini adalah sebuah keniscayaan.

Dunia politik saat ini tak ubahnya seperti pasar (market) yang di dalamnya marak transaksi jual-beli beragam kepentingan. Produk politik bisa dijual melalui lembaga-lembaga survei yang ada dengan tentu saja berlaku sebuah konsekuensi, semakin bonafid sebuah lembaga survei, maka semakin mahal biaya pembuatan produk politiknya. Proses komersialisasi seperti ini justru semakin menegaskan suburnya praktik politik "dagang sapi" di antara para pelaku-pelaku usaha politik dengan berbagai individu atau kelompok dalam sebuah lembaga politik. Masing-masing pihak berupaya memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya sendiri-sendiri.

Kondisi seperti ini semakin menjauhkan politik dari sebuah upaya dialektika yang dinamis, baik pertukaran ide ataupun diskusi yang cenderung mendekatkan ikatan-ikatan ideologis antara masyarakat dan partai politik (parpol). Kontestan individu atau parpol cukup menyewa lembaga survei atu kontestan politik untuk mengemas kepentingannya menjadi sebuah "produk politik" yang bernilai jual di hadapan masyarakat. Padahal, politik dalam tataran idealnya sangat penting dalam proses pembangunan masyarakat, bukan sekadar bagaimana agar politik lebih berorientasi pasar: mengeruk keuntungan dengan cara mengeksploitasi isu-isu politik sehingga bernilai komersial dan mampu "dijual" ke khalayak publik.

Sulit bagi saya mempercayai lembaga survei yang benar-benar "bebas" dari kepentingan apalagi dengan dalih independen hanya ingin mengungkap "kebenaran politik" secara transparan dan mempersilakan publik untuk menilainya. Wajar jika dalam banyak hal muncul kekecewaan dari berbagai kalangan kepada hasil rilis lembaga survei yang sarat bias kepentingan politik dan condong menjadi produsen politik dari pihak-pihak berkepentingan yang membiayainya.

Anda boleh setuju ataupun tidak terhadap lembaga survei, karena tidak begitu berpengaruh terhadap kebaikan dunia politik. Pasalnya, komersialisasi dunia politik tak terbantahkan di tengah menguatnya aspek kapitalisasi yang mengejar berbagai keuntungan ekonomis, tak peduli lagi soal ideologi, nilai-nilai atau fatsoen politik yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Dalam politik tak lagi ditemukan loyalitas, karena komersialisasi dunia politik berupaya mencari mitra-mitra yang lebih menguntungkan dirinya sendiri. Jika sudah dianggap "mengganggu" dan "membahayakan" produk politik yang sedang mereka jual, seorang loyalis sekalipun bisa didepak karena tidak memberi keuntungan ekonomis apapun.

Lembaga survei dan semacamnya menciptakan persaingan semakin bebas dan terbuka dalam berbagai interaksi di dunia politik. Kenyataan ini bahkan mendorong iklim investasi politik tidak lagi murah, bahkan seringkali menjadi beban utang yang dilunasi dengan korupsi oleh banyak para aktor politik yang memenangkan kontestasi. Mereka menjadi semakin pragmatis, mengeruk keuntungan pribadi dari jalur-jalur kekuasaan yang diperolehnya, bukan lagi semakin menguatkan ideologi politik yang dibawanya yang dipakai sebagai "alat" membangun masyarakat.

Kita tentu merasakan, tak adanya ruh politik yang bersemayam dalam ideologi para kontestan, yang ada pragmatisme sesaat, persaingan yang tak sehat, menggeser ide-ide politik yang berasaskan kesejahteraan rakyat menjadi sekadar transaksi ekonomi yang saling menguntungkan. Masih percaya lembaga survei di tengah era komersialisasi dunia politik?

Oleh : Rahmat Asmayadi

Sumber : Kolom Opini DetikNews

Senin 12 Februari 2018, 13:09 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Survei Terbaru : Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah

Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat li...